Di dalam al-Wajibat, Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah berkata :
فإذا قيل لك: من ربك؟ فقل: ربي الله، الذي ربَّاني وربَّى جميع العالمين بنعمته، وهو معبودي، ليس لي معبودٌ سواه
Apabila ditanyakan kepadamu “Siapa Rabbmu?” jawablah “Rabbku adalah Allah Yang telah mentarbiyahku dan mentarbiyah seluruh alam dengan nikmat-nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya.”
Keterangan :
Perkataan ini bersumber dari ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalahnya al-Ushul ats-Tsalatsah. Dimana Syaikh menyebutkan kalimat yang sama, kemudian beliau membawakan dalilnya, yaitu firman Allah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” (al-Fatihah). Lalu beliau -Syaikh Muhammad- berkata, “Dan segala sesuatu selain Allah adalah alam, sedangkan aku termasuk bagian dari alam itu.”
Di dalam kalimat tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menafsirkan ‘Rabb’ dengan makna pencipta dan sesembahan. Inilah kandungan istilah Rabb secara mutlak dimana di dalamnya pun tercakup makna uluhiyah (sesembahan), dan hal ini berdasarkan ijma’/kesepakatan ulama salaf. Demikian faidah dari keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam syarahnya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh ar-Rajihi, hal. 34)
Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah memberikan keterangan, bahwa kata Rabb -secara bahasa- bermakna penguasa (maalik), tuan (sayyid), dan sesembahan (ma’bud). Ketiga makna ini tidak terkumpul kecuali pada diri Allah. Makhluk/manusia bisa saja disebut ‘rabb’ dengan makna penguasa/pemilik dan tuan tetapi tidak boleh makhluk menjadi sesembahan. Oleh sebab itu ketiga makna ini tidaklah menyatu kecuali pada diri Allah. Allah lah penguasa, pemimpin sekaligus sesembahan (lihat It-haful ‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 49)
Oleh sebab itu tidak boleh digunakan kata ar-Rabb (dengan alif lam) kecuali untuk menyebut Allah. Adapun tanpa alif lam ‘rabb’ bisa digunakan untuk menyebut selain Allah (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi, hal. 34, Ma’alim at-Tanzil oleh Imam al-Baghawi, hal. 9, dan Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Yahya al-Hajuri, hal. 33-34)
Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah menjelaskan, bahwa maksud pertanyaan ‘Siapakah Rabbmu’ adalah ‘Siapa sesembahanmu’ sehingga maksudnya bukanlah menanyakan tentang siapa pencipta dan pemberi rezeki kepadamu. Karena hal ini telah diakui oleh orang-orang musyrik. Namun makna yang dimaksud ialah ‘Siapa sesembahanmu yang kami ibadahi’ maka jawablah bahwa ‘Rabbku adalah Allah’ (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 33)
Di dalam al-Qur’an terkadang kata ‘rabb’ digunakan dengan makna ‘sesembahan’. Seperti misalnya dalam ayat (yang artinya), “Dan dia -rasul- tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai ‘rabb’ (sesembahan)…” (Ali ‘Imran : 80). Demikian pula dalam ayat (yang artinya), “Mereka -ahli kitab- telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai ‘rabb’ (sesembahan) selain Allah…” (at-Taubah : 31) (lihat keterangan Syaikh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain dalam Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 66)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Rabb seru sekalian alam’ (al-Fatihah) terkandung penetapan rububiyah Allah ‘azza wa jalla. Rabb itu adalah Dzat yang menciptakan, menguasai dan mengatur. Maka tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada penguasa kecuali Allah, dan tidak ada pengatur selain Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ahkam minal Qur’anil Karim, hal. 12)
Kata ‘rabb’ selain mengandung makna penguasa/pemilik juga mengandung makna tarbiyah dan ishlah (memelihara dan memperbaiki). Adapun kata ‘alam’ mencakup jin dan manusia, sebagaimana tafsiran Ibnu ‘Abbas. Alam juga mengandung makna seluruh ciptaan Allah, sebagaimana tafsiran Qatadah, Mujahid, dan al-Hasan (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 9)
Perkataan beliau ‘tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya’ menunjukkan bahwa al-Khaliq (Yang Maha Mencipta) itulah yang berhak untuk disembah. Oleh sebab itulah Allah mencela kaum musyrikin karena mereka beribadah kepada selain Allah padahal semua sesembahan selain Allah itu tidak menguasai manfaat atau pun mudhorot. Maka siapakah yang lebih sesat daripada orang yang beribadah kepada makhluk seperti dirinya, dan yang lebih sesat lagi adalah orang yang beribadah/berdoa kepada orang yang sudah mati di dalam kuburnya sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuja kubur (lihat al-Mahshul min Syarhi Tsalatsah al-Ushul, hal. 75 oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman)
Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung tauhid uluhiyah dari sisi makna kata ‘lillah’. Karena kata ‘Allah’ dalam bahasa arab memiliki makna al-ma’luh al-ma’bud; yaitu Dzat yang disembah dan diibadahi (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam al-Mukhtashar al-Mufid fi Bayani Dala’ili Aqsamit Tauhid, hal. 15)
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari keterangan-keterangan di atas adalah bahwasanya tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah. Karena Allah lah yang telah menciptakan, memelihara dan mengatur alam semesta ini. Tidak ada pencipta dan penguasa alam semesta ini kecuali Allah -dan hal ini telah diyakini oleh kaum musyrikin- oleh sebab itu wajib untuk mengesakan Allah dalam beribadah -tidak boleh beribadah kepada selain-Nya- dan inilah yang ditolak oleh kaum musyrikin, sehingga mereka mengatakan ketika menanggapi seruan laa ilaha illallah yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata mereka, “Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja?”
Dari sinilah kita juga bisa mengetahui kekeliruan dan kesesatan orang yang menafsirkan kalimat tauhid laa ilaha illallah dengan ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi ketetapan hukum selain Allah’. Aduhai, sungguh malang orang yang kaum musyrikin jahiliyah lebih paham darinya tentang makna laa ilaha illallah….
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
—